Orang yang bekerja memang sudah
sepatutnya mendapatkan imbalan, yang biasanya disebut gaji, atau upah. Mereka digaji
sesuai level skill dan yang paling sering adalah sesuai dengan gelar atau
tingkat pendidikan, karena hal tersebut mempengaruhi jabatan/posisi/peran orang
tsb.
Untuk mengerjakan seluruh tugasnya,
sang pegawai tentu akan diberikan job description
atau biasa disingkat ‘jobdes’, yang akan menjelaskan tentang tugas dan
kewajibannya terhadap perusahaan tempat mereka mengabdi. Dan si bos ataupun
divisi lain akan menentukan gaji yang pantas diterima oleh sang pegawai.
Contohnya, jika ia seorang lulusan
sarjana pendidikan, dan mengabdikan diri menjadi seorang guru di sekolah
menengah atas serta mengajar untuk beberapa mata pelajaran, maka gaji yang ia
terima mungkin tidak akan sama dengan seorang guru menengah pertama yang hanya
mengajar satu mata pelajaran.
Lalu contoh lain, seorang sarjana
kedokteran, yang mengabdikan dirinya pada sebuah rumah sakit saja,
pendapatannya akan berbeda dengan seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah
sakit sekaligus membuka praktik sendiri maupun usaha di bidang kesehatan
lainnya.
Dan masih banyak contoh lainnya dlm
berbagai bidang. Itu semua merupakan contoh bekerja untuk manusia. Bagaimana dengan
bekerja untuk Allah ??
Kalimat ‘bekerja untuk Allah’, sebelum
menuangkannya dalam tulisan ini, saya berpikir bahwa kalimat tersebut hanya
sebatas bekerja dengan mengharapkan
keridho’an Allah, yaitu bekerja dengan pekerjaan yang baik lagi halal.
Selepas dhuha dan saat membaca alma’tsurat,
sambil berusaha memahami maknanya juga introspeksi diri, terpikir oleh saya ‘ya
Allah..., alangkah kurang bergunanya saya, karena keseharian saya hanya sebatas
ini-ini saja, hanya menunggu usainya penelitian, olah data juga sudah dicicil
jadi skrg begini2 aja, ke kampus hanya sekedar tengok ini itu terus balik ke
kos, makan, tidur, dan nggak ada hal lain yang lebih berarti untuk dilakukan,
bahkan saya malu dengan orang-orang sekitar kosan yang memperhatikan saya kok
matahari belum naik sudah balik ke kosan’.
Dan setelah itu pun saya juga
berpikir,’ kenapa yang saya pikirkan hanya sebatas urusan dunia saja, yang saya
keluhkan hanya sebatas aktifitas duniawi. Bukankah saat ini pun saya sedang
menjalankan aktifitas..., sholat dhuha, membaca al-ma’tsurat, sholat wajib bisa
sering tepat waktu,, bahkan aktifitas ini merupakan kegiatan yang sangat
berarti.’ (semoga tanpa sadar aktifitas ini merupakan wujud dari rasa syukur,
aamiin).
Ya...., di saat orang-orang sibuk
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa, pekerja dll. Saya
pun menjalankan tugas dan peran saya sebagai ‘makhluk’.
Sekarang saya jadi lebih mengerti
makna ‘bekerja untuk Allah’, tidak hanya sekadar menjalankan pekerjaan dengan
baik dan mengharapka ridho Allah, tetapi juga ibadah kita, amal sholih, sikap
sabar dan syukur juga merupakan jobdes kita
dalam menjalankan tugas dan peran sebagai hamba.
Jika seorang atasan di tempat kerja bisa
memberikan upah kepada kita setelah kita bekerja, maka Allah memberikannya
selagi atau bahkan sebelum kita bekerja, bahkan saat kita lalai pun kita tetap bisa
merasakan karunia dariNya :’). Jika seorang atasan memberikan kita imbalan
berupa uang atau barang berharga lainnya, maka Allah lah pemilik rezeki tersebut,
bahkan atasan dan pekerjaan yang kita jalankan bisa dibilang adalah perantara. Selain itu Allah memberikan
imbalan kepada kita berupa kecerdasan (akal), kesehatan, udara, kekuatan,
keseimbangan fisik, rasa berani dan pantang menyerah, dan banyak lagi.
Bisa dibayangkan, betapa Maha
Agung-Nya, Bos semesta alam ini telah melimpahkan banyak nikmat dan karunia
sementara kita tidak memahami tugas dan peran kita. Terlalu banyak kita
melalaikan perintah dan larangan yang sudah dijelaskan dengan amat terang.
Kalau dalam sebuah perusahaan, mungkin
kita sudah dimarah-marahi atau dimaki-maki atasan, atau mendapatkan SP (surat
peringatan), atau bahkan terancam PHK alias ‘pecat’. Bagaimana tidak, kita
hanya ‘magabut’ alias makan gaji
buta. Lalu...., bagaimana jika kita ‘magabut’
peberian dari Allah ??!