30.9.13

Kita, termasuk manusia magabut atau tidak ??



Orang yang bekerja memang sudah sepatutnya mendapatkan imbalan, yang biasanya disebut gaji, atau upah. Mereka digaji sesuai level skill dan yang paling sering adalah sesuai dengan gelar atau tingkat pendidikan, karena hal tersebut mempengaruhi jabatan/posisi/peran orang tsb.

Untuk mengerjakan seluruh tugasnya, sang pegawai tentu akan diberikan job description atau biasa disingkat ‘jobdes’, yang akan menjelaskan tentang tugas dan kewajibannya terhadap perusahaan tempat mereka mengabdi. Dan si bos ataupun divisi lain akan menentukan gaji yang pantas diterima oleh sang pegawai. 

Contohnya, jika ia seorang lulusan sarjana pendidikan, dan mengabdikan diri menjadi seorang guru di sekolah menengah atas serta mengajar untuk beberapa mata pelajaran, maka gaji yang ia terima mungkin tidak akan sama dengan seorang guru menengah pertama yang hanya mengajar satu mata pelajaran.

Lalu contoh lain, seorang sarjana kedokteran, yang mengabdikan dirinya pada sebuah rumah sakit saja, pendapatannya akan berbeda dengan seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit sekaligus membuka praktik sendiri maupun usaha di bidang kesehatan lainnya.
Dan masih banyak contoh lainnya dlm berbagai bidang. Itu semua merupakan contoh bekerja untuk manusia. Bagaimana dengan bekerja untuk Allah ??

Kalimat ‘bekerja untuk Allah’, sebelum menuangkannya dalam tulisan ini, saya berpikir bahwa kalimat tersebut hanya sebatas bekerja dengan mengharapkan keridho’an Allah, yaitu bekerja dengan pekerjaan yang baik lagi halal.

Selepas dhuha dan saat membaca alma’tsurat, sambil berusaha memahami maknanya juga introspeksi diri, terpikir oleh saya ‘ya Allah..., alangkah kurang bergunanya saya, karena keseharian saya hanya sebatas ini-ini saja, hanya menunggu usainya penelitian, olah data juga sudah dicicil jadi skrg begini2 aja, ke kampus hanya sekedar tengok ini itu terus balik ke kos, makan, tidur, dan nggak ada hal lain yang lebih berarti untuk dilakukan, bahkan saya malu dengan orang-orang sekitar kosan yang memperhatikan saya kok matahari belum naik sudah balik ke kosan’. 

Dan setelah itu pun saya juga berpikir,’ kenapa yang saya pikirkan hanya sebatas urusan dunia saja, yang saya keluhkan hanya sebatas aktifitas duniawi. Bukankah saat ini pun saya sedang menjalankan aktifitas..., sholat dhuha, membaca al-ma’tsurat, sholat wajib bisa sering tepat waktu,, bahkan aktifitas ini merupakan kegiatan yang sangat berarti.’ (semoga tanpa sadar aktifitas ini merupakan wujud dari rasa syukur, aamiin).

Ya...., di saat orang-orang sibuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa, pekerja dll. Saya pun menjalankan tugas dan peran saya sebagai ‘makhluk’. 

Sekarang saya jadi lebih mengerti makna ‘bekerja untuk Allah’, tidak hanya sekadar menjalankan pekerjaan dengan baik dan mengharapka ridho Allah, tetapi juga ibadah kita, amal sholih, sikap sabar dan syukur juga merupakan jobdes kita dalam menjalankan tugas dan peran sebagai hamba. 

Jika seorang atasan di tempat kerja bisa memberikan upah kepada kita setelah kita bekerja, maka Allah memberikannya selagi atau bahkan sebelum kita bekerja, bahkan saat kita lalai pun kita tetap bisa merasakan karunia dariNya :’). Jika seorang atasan memberikan kita imbalan berupa uang atau barang berharga lainnya, maka Allah lah pemilik rezeki tersebut, bahkan atasan dan pekerjaan yang kita jalankan bisa dibilang  adalah perantara. Selain itu Allah memberikan imbalan kepada kita berupa kecerdasan (akal), kesehatan, udara, kekuatan, keseimbangan fisik, rasa berani dan pantang menyerah, dan banyak lagi.

Bisa dibayangkan, betapa Maha Agung-Nya, Bos semesta alam ini telah melimpahkan banyak nikmat dan karunia sementara kita tidak memahami tugas dan peran kita. Terlalu banyak kita melalaikan perintah dan larangan yang sudah dijelaskan dengan amat terang.

Kalau dalam sebuah perusahaan, mungkin kita sudah dimarah-marahi atau dimaki-maki atasan, atau mendapatkan SP (surat peringatan), atau bahkan terancam PHK alias ‘pecat’. Bagaimana tidak, kita hanya ‘magabut’ alias makan gaji buta. Lalu...., bagaimana jika kita ‘magabut’ peberian dari Allah ??!


26.1.13

Malam Mingguan


Bismillahirrohmanirrohim......

Engkau yang Maha  Kuasa, Pemilik seluruh alam, Pemilik diri ini, Hanya kepadaMu ku berserah diri
Tiada daya dan upaya melainkan atas pertolonganMu

Engkau yang Maha Kuat, ku memohon dikuatkan imanku, dikuatkan hatiku, istiqomahkan ketaatanku, dan bimbinglah langkah hidupku

Wahai Pemelihara langit, bumi, dan seisinya..., aku berlindung kepadaMu, dari bisikan syaitan, dari kenikmatan dunia yang dapat melalaikan, dari keburukan sifat manusia, dari murkaMu, dari fitnah kubur, dan dari siksa apa neraka

Ya robbii ya ilahii....
Tetapkanlah hatiku untuk bergantung hanya kepadaMu
Tumbuhkanlah...dan suburkanlah cinta di hatiku untukMu
Karena ku sadar......, Engkau menciptakanku tak lain adalah untuk beribadah kepadaMu, bersujud kepadaMu, bergantung hanya kepadaMu

Sadarkanlah diriku selalu, bahwa tujuan hidup ini tak lain adalah Engkau
Engkau yang menciptakanku, Kau yang menggenggam hidupku, Kau yang menentukan takdirku, Kau maha Tahu sedang aku tidak tahu, Kau yang Maha Tahu yang nyata dan yang tersembunyi, Kau yang Tahu yang terbaik untukku

Jika suatu kali...hajatku tak Kau perkenankan ..., Jika keinginanku dalam sesuatu hal tidak baik adanya bagi agamaku, bagi kehidupanku, dan bagi masa depanku. Maka jauhkanlah aku dari padanya, jauhkanlah hal itu dariku, serta tunjukkanlah aku kepada sesuatu yang lebih baik bagiku....dan buatlah aku ridho terhadapnya,.... anugerahkanlah kepadaku yang terbaik bagi akhirat dan duniaku

Ku serahkan segala urusanku hanya kepadaMu......
Karena ku sadar, bahwa semua yang ku inginkan, segala yang ku harapkan, semua yang ingin ku raih, adalah milikMu jua..... semua itu akan kembali kepadaMu, apa yang ku impikan akan kembali kepadaMu jua, selainMu akan mati, akan hilang tanpa arti

Maka...., sepatutnya, Engkau lah pemilik hati ini, milikMu lah cinta sejati, bukan kecenderungan duniawi..........